OPINI: Prospek Ekonomi
dan Perbankan Indonesia 2017
Di tengah maraknya potensi ketidakpastian pasca
terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat ke-45 pada 9 November
2016 lalu, di dalam negeri berkembang kabar baik yang patut dicermati.
Sentimen
positif berasal dari dua lembaga riset ternama dan kredibel, yaitu AC Nielsen
dan Danareksa Research Institute (DRI). Keduanya memaparkan hasil tentang
kenaikan indeks kepercayaan konsumen, berdasarkan riset yang baru saja mereka
lakukan.
Menurut
survei Nielsen, indeks kepercayaan konsumen (IKK) Indonesia terus naik tahun
2016 hingga menembus 122 pada triwulan III, meningkat enam poin dibanding
kuartal sama tahun 2015 sebesar 116.
Indeks
yang menunjukkan optimisme konsumen ini merupakan terbaik ketiga di
Asia-Pasifik, setelah India dan Filipina.
Ada
dua indikator yang membuat indeks kepercayaan konsumen naik. Pertama, indikator
keyakinan konsumen akan kondisi keuangan pribadi dalam 12 bulan ke depan yang
cukup aman. Kedua, indikator keinginan berbelanja yang cukup meyakinkan.
Sementara
itu, survei DRI menyatakan, ekspektasi perekonomian ke depan lebih
baik sehingga membuat kepercayaan konsumen di Indonesia meningkat. Konsumen
percaya pemerintah telah bekerja dengan baik, tercermin pada laju inflasi yang
terkendali, yang terefleksi pada harga pangan yang relatif stabil.
DRI juga mencatat konsumen percaya, perekonomian yang membaik di masa depan akan mendorong naiknya investasi. Peningkatan investasi ini akan memicu penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan per kapita, sehingga daya beli pun meningkat.
DRI juga mencatat konsumen percaya, perekonomian yang membaik di masa depan akan mendorong naiknya investasi. Peningkatan investasi ini akan memicu penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan per kapita, sehingga daya beli pun meningkat.
Pada
akhirnya hasil survei kedua lembaga riset tersebut merupakan modal bagi harapan
ekonomi Indonesia yang lebih baik. Kepercayaan konsumen juga dapat berdampak
positif terhadap meningkatnya kepercayaan investor terhadap Indonesia.
Di
antara negara-negara Asia, India, Tiongkok dan Indonesia merupakan tiga besar
negara tujuan investasi terbaik. Bahkan bagi kalangan pebisnis Jepang,
Indonesia menduduki peringkat kedua setelah India.
Apresiasi
juga patut dialamatkan ke pemerintah, termasuk keberhasilannya dalam program
amnesti pajak yang juga telah dipuji oleh dunia internasional.
Tugas Utama
Kini
tugas utama pemerintah adalah memastikan setiap kebijakan yang diluncurkan dan
tugas yang diemban dapat terlaksana dengan baik. Misalnya, pemerintah harus
dapat menyukseskan pencairan belanja pemerintah pada kuartal IV agar mampu
menjadi stimulus.
Ini
akan semakin menguatkan dukungan konsumsi rumah tangga yang pada dua kuartal
terakhir ini mampu tumbuh di atas 5 persen, setelah sebelumnya hanya mampu
tumbuh di bawah 5 persen.
Mesin
pendorong utama pertumbuhan kuartal keempat tahun 2016 yaitu dari ekspansi
belanja pemerintah. Konsumsi pemerintah di sektor infrastruktur, akan
memberikan sumbangan besar di sektor publik terhadap pertumbuhan ekonomi.
Kalangan
analis dan ekonom juga melihat kinerja ekspor akhir tahun akan memberikan
sumbangan terhadap pertumbuhan, sejalan dengan harga sejumlah komoditas yang
mulai meningkat.
Semula
tahun 2016 harga komoditas diperkirakan turun 4 persen. Namun saat ini justru
tumbuh positif 0,8 persen. Ini akan mendorong ekspor dan menyumbang dari sektor
eksternal terhadap ekonomi.
Tugas
lain adalah menjaga iklim investasi tetap kondusif dan atraktif. Pembangunan
infrastruktur harus dipercepat, deregulasi terus didorong, serta paket
kebijakan ekonomi yang ada harus terus dikawal agar terimplementasi dengan
baik.
Publik
berharap naiknya kepercayaan konsumen, kepercayaan investor, dan apresiasi
dunia internasional terhadap kinerja pemerintah Indonesia menjadi amunisi bagi
terjadinya akselerasi perekonomian secara lebih nyata.
Jika
momentum ini dapat dimanfaatkan secara optimal dan didukung oleh arah kebijakan
yang konsisten dan kondusif, niscaya pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen
bukanlah sesuatu yang sulit diraih.
Angka
pertumbuhan 5 persen adalah base line.
Artinya, Indonesia punya potensi tumbuh jauh di atas 5 persen. Bisa ke arah
persen, bisa juga ke arah 7 persen.
Semuanya
bergantung kepada manajemen pemerintah dalam mengelola semua potensi dan sumber
daya nasional yang dimilikinya.
Peringkat Kemudahan Berusaha
Tak
bisa diremehkan juga dukungan dari kalangan internasional. Lihat saja rilis
Bank Dunia yang baru saja mengumumkan peringkat kemudahan berusaha atau ease of doing business(EODB) untuk 190
negara yang disurvei.
Dalam
survei itu, peringkat kemudahan berusaha di Indonesia naik tajam, dari posisi
106 tahun 2015 ke urutan 91 di 2016. Kenaikan 15 peringkat itu menunjukkan
bahwa melakukan bisnis di Indonesia semakin mudah.
Indonesia
pun mencatat rekor dengan melakukan tujuh reformasi dalam satu tahun terakhir,
untuk memperbaiki iklim usaha bagi pengusaha lokal.
Reformasi
usaha yang dilakukan Indonesia dalam satu tahun terakhir, yang diukur oleh
laporan Doing Business adalah
memulai usaha, kemudahan memperoleh sambungan listrik, pendaftaran properti,
kemudahan memperoleh pinjaman, pembayaran pajak, perdagangan lintas batas, dan
penegakan kontrak.
Reformasi
dalam satu tahun terakhir juga ditujukan untuk menerapkan atau mendorong
penggunaan sistem online. Memulai usaha menjadi lebih mudah karena adanya
berbagai sistem online yang
fungsional.
Saat
ini seorang pengusaha hanya memerlukan waktu 25 hari untuk memulai sebuah
usaha, dibandingkan sebelumnya yang mencapai 48 hari.
Selain
itu, proses pembayaran pajak sekarang menjadi lebih mudah setelah adanya sistem online. Kalangan pengusaha Indonesia
mengaku sudah merasakan perbaikan dalam kemudahan berusaha, khususnya dalam hal
perizinan, setelah pemerintah menerbitkan 13 paket kebijakan ekonomi.
Untuk
menjaga momentum perbaikan tersebut, masih perlu upaya untuk lebih
menyederhanakan prosedur, serta mengurangi waktu dan biaya untuk memulai usaha,
pendaftaran properti, dan implementasi kontrak.
Akhirnya,
perbaikan peringkat ini merupakan kemajuan yang baik dan bisa memberikan
persepsi positif terhadap kemudahan berbisnis di Indonesia.
Namun,
peringkat 91 masih jauh di bawah target Presiden Jokowi yang menginginkan
Indonesia masuk peringkat 40. Peringkat 40 tersebut harus dicapai agar
Indonesia menjadi negara yang semakin menarik untuk berbisnis.
Sektor perbankan
Jangan
diabaikan pula peran sektor perbankan. Industri perbankan Indonesia dalam dua
tahun berturut-turut, mengalami pelemahan fungsi intermediasi.
Ini
terlihat dari pertumbuhan kredit yang lemah, masing-masing berkisar 8-9 persen
saja. Penyulut melemahnya aktivitas kredit perbankan karena kurangnya
permintaan kredit oleh dunia usaha di tengah perlambatan ekonomi global,
terutama melemahnya perekonomian Tiongkok.
Kondisi
tersebut kurang lebihnya masih berlanjut di 2017, di mana proyeksi pertumbuhan
kredit perbankan nasional hanya akan berkisar 9-11 persen.
Sedikit
lebih baik karena didorong oleh serapan kredit di sektor infrastruktur
pemerintah, yang memberi multiplier
effects ke permintaan kredit ke subsektor lainnya, antara lain
bangunan, konstruksi, material (khususnya semen, besi, baja, gipsum, kayu dan
kayu olahan).
Apalagi
pemerintah juga sedang giat membangun sejumlah venue cabang-cabang
olahraga menyambut Pesta Olahraga se-Asia atau Asian Games 2018 di Jakarta dan
Palembang. Sektor eceran juga akan menggeliat sebagai dampak aktivitas ekonomi.
Apalagi
indeks kepercayaan konsumen Indonesia tahun 2016 terbaik ketiga setelah India
dan Filipina, di antara 14 negara Asia yg disurvei oleh AC Nielsen.
Dengan
demikian kombinasi permintaan kredit produktif dari segmen wholesale, middle, dan usaha kecil menengah
(UKM) baik untuk kredit modal kerja (KMK) maupun kredit investasi (KI) akan
membaik, disertai perbaikan serapan kredit konsumtif di sektor ritel.
Diproyeksikan
permintaan kendaraan roda empat dan dua juga akan meningkat. Juga permintaan
kredit pemilikan rumah (KPR). Permintaan household atau keperluan rumah tangga
akan membaik.
Tak
ketinggalan sektor pariwisata juga akan menggeliat terutama setelah ditetapkan
10 daerah destinasi wisata unggulan. Alhasil sektor transportasi, perdagangan
dan perhotelan (sektor hospitality)
juga akan membaik.
Membaiknya
harga minyak dunia pada kisaran 50 dolar AS per barel juga akan memperbaiki kinerja
sektor pertambangan dan penggalian, serta komoditas primer pada umumnya. Juga
membaiknya harga minyak sawit mentah (CPO) akan mengerek kredit ke sektor agriculture.
Stabilitas
sosial politik yang terjaga dengan baik juga mendorong gairah pelaku usaha.
Soal
likuiditas, Bank Indonesia (BI) terus memperhatikan hal ini dengan menerapkan
kebijakan makroprudensialnya agar likuiditas perbankan tidak cenderung ketat.
Dengan
perhitungan likuiditas yang baru menggunakan loan
to funding ratio (LFR), bukan loan
to deposit ratio (LDR), maka likuiditas perbankan mustinya tidak jadi
masalah lagi.
Dari
gambaran di atas, cukup jelas arah kebijakan moneter ke depan tidak akan lagi
cenderung pro pertumbuhan atau dovish, melainkan lebih berorientasi pada upaya
menjaga aspek kestabilan makroekonomi (stability
over growth), terutama menyikapi rencana kebijakan ekonomi AS yang sulit
ditebak sehingga membawa kekhawatiran munculnya ketidakpastian baru.
Memang
pelonggaran kebijakan moneter yang telah dilakukan BI melalui penurunan suku
bunga acuan BI sebesar 150 basis points (bps) terhadap suku bunga kredit masih
lambat.
Namun,
BI melihat ruang penurunan suku bunga kredit masih ada hingga kuartal II-2017.
Penurunan suku bunga kredit masih lambat lantaran perbankan melakukan pencadangan
biaya. Hal ini sejalan dengan peningkatan rasio kredit bermasalah (NPL).
BI
mencatat, per akhir Oktober 2016 NPL perbankan mencapai 3,2 persen (gross) dan 1,5 persen (nett).
Meski
demikian, BI melihat ruang penurunan suku bunga kredit masih ada sejalan dengan
perkembangan konsolidasi perbankan. Sebab, saat ini merupakan puncak
peningkatan NPL dan akan menurun hingga kuartal II-2017.
Menurut
BI, penurunan suku bunga kredit kemungkinan tidak bisa menyamai penurunan suku
bunga acuan BI yang telah mencapai 150 bps.
Namun,
diperkirakan penurunan suku bunga kredit masih bisa melebihi 100 bps. Bunga
deposito mungkin bisa turun 20 bps lagi.
Kalau bunga kredit setidaknya 50 bps masih bisa turun lagi. Sejak BI melonggarkan suku bunga acuan, suku bunga deposito sudah turun 130 bps per akhir November 2016. Sementara suku bunga kredit baru turun 67 bps per akhir November 2016.
Kalau bunga kredit setidaknya 50 bps masih bisa turun lagi. Sejak BI melonggarkan suku bunga acuan, suku bunga deposito sudah turun 130 bps per akhir November 2016. Sementara suku bunga kredit baru turun 67 bps per akhir November 2016.
BI
optimistis pertumbuhan kredit tahun 2016 bisa mencapai target 7-9 persen.
Sebab, pertumbuhan kredit pada Oktober saja mencapai 7,5 persen (yoy).
Walaupun
pertumbuhan kredit year to date (ytd)
hingga Oktober 2016 baru mencapai 5,8 persen. Untuk 2017, BI masih
memperkirakan pertumbuhan kredit bisa mencapai 9-11 persen.
Jika
ke depannya BI cenderung pada kebijakan stabilitas makroekonomi, maka
pemerintah harus mengandalkan kebijakan fiskal agar pertumbuhan ekonomi tetap
terjaga.
Salah
satu yang bisa dilakukan yakni dengan mempercepat realisasi belanja modal,
terutama belanja infrastruktur. Tetapi itu tidak akan mulus, sebab masih ada
ancaman shortfall, sehingga potensi terjadinya defisit APBN masing terbuka.
Kondisi
tersebut akan membuat pemerintah kembali menerbitkan surat berharga negara.
Namun dengan ancaman kenaikan Fed Fund Rate (FFR) di tahun depan sebanyak tiga
kali dengan akumulasi kenaikan 75 bps, hal itu tentu memiliki risiko.
Sebetulnya
kenaikan FFR sudah masuk dalam perhitungan risiko pelaku pasar jauh-jauh hari
sebelum diputuskan. Yang belum adalah rencana kebijakan ekonomi Donald Trump
terkait rencana kebijakan ekonomi yang lebih ekslusif.
Selain
itu, risiko inflasi 2017 yang akan meningkat juga harus diprediksi sering
potensi kenaikan harga minyak dunia. Hal itu dipacu oleh risiko meningkatnya
inflasi di sisi administered price.
Kesimpulannya, ruang pelonggaran moneter BI ke depan mungkin saja semakin
terbatas.
Jika
demikian, pemerintah harus memaksimalkan kebijakan fiskalnya agar dapat tetap
memberikan stimulus pada perekonomian, meskipun situasinya juga tidak memberikan
banyak pilihan, lantaran ruang fiskal yang ada sangat terbatas.
Solusinya,
pemerintah harus lebih efektif dan efisien dalam menentukan belanja prioritas.
Ada
beberapa pos anggaran yang bisa dimaksimalkan. Salah satunya melalui dana
transfer daerah, yang harus lebih efektif untuk proyek-proyek infrastruktur.
Keberadaan
Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Umum (DAU) tidak boleh hanya mengendap
di rekening daerah. Keberadaan dana-dana itu harus secepatnya bisa diserap
untuk proyek-proyek dan kegiatan yang produktif.
Selain
itu, penting bagi pemerintah untuk menjaga optimisme dunia usaha agar tetap
produktif. Salah satunya melalui pemberian insentif, sehingga iklim investasi
dapat terjaga.
Dengan
formula-formula itu diyakini pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2017 nanti akan
berada di kisaran 5,1-5,3 persen.
Sebagai
perbandingan, target pertumbuhan ekonomi pemerintah dalam APBN 2017 sebesar 5,1
persen. Proyeksi pertumbuhan setinggi ini akan mudah digapai jika didorong juga
oleh pertumbuhan kredit pada kisaran 9-11 persen dengan pertumbuhan dana pihak
ketiga (DPK) berkisar 7-9 persen untuk 2017. (Sumber: Liputan6)
0 komentar:
Posting Komentar